
Portalsembilan.com, Kutai Kartanegara – Di tengah gemerlap perayaan Erau adat Kutai 2025 yang memukau, sebuah kisah kuno kembali dihidupkan, membawa para hadirin dalam perjalanan spiritual yang mendalam. Di Keraton/Museum Mulawarman, Minggu (28/9/2025), Encek Indra, dengan suara merdunya, melantunkan Riwayat Naga Kutai Lama, sebuah legenda yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Kutai.
Kisah ini bukan sekedar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah warisan budaya yang sarat makna dan nilai-nilai luhur. Encek Indra, dengan penuh penghayatan, membawa kita kembali ke masa lalu, ketika Petinggi Uludusun dan Babu Jelmu, sepasang suami istri yang hidup sederhana di Gunung Jaitan Layar, mengalami sebuah peristiwa luar biasa.
Dalam kondisi “wahana alam gelap” selama tujuh hari tujuh malam, ketika kayu bakar telah habis dan Babu Jelmu tak dapat memasak, Petinggi Uludusun menemukan secercah harapan. Ia membuat “Kasolati” dari “hawar kuning,” dan di dalamnya, ia menemukan seekor ulat kecil. Ulat itu kemudian dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Babu Jelmu.
“Coba awak lihat di dalamnya nih, aku ada mainan,” ujar Petinggi Uludusun kepada istrinya. Namun, Babu Jelmu merasa takut dan enggan mendekat. “Aku takut jauh-jauh di kemurian,” jawabnya. Meski demikian, rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya.
Ulat kecil itu kemudian tumbuh menjadi makhluk yang luar biasa, seekor naga dengan “recek belangnya” yang semakin jelas. Petinggi Uludusun dan Babu Jelmu merawat naga itu dengan penuh perhatian, memindahkannya dari bakul ke dalam kulit, hingga akhirnya membuatkan pondok khusus untuknya.
Suatu malam, Petinggi Uludusun dan Babu Jelmu mendapatkan mimpi yang sama. Naga itu tidak ingin turun ke air, melainkan meminta tangga dan “juhan” tujuh tingkat serta lima tingkat. Ia juga meminta agar dijaga semalam suntuk dan dibuatkan “prapen” dengan berbagai sesaji.
Petinggi Uludusun dan Babu Jelmu menuruti permintaan naga itu. Mereka membuat tangga dari kayu “lempong swit” yang diikat dengan akar “lugidin,” serta menyiapkan “juhan” dengan segala isinya. Malam itu, mereka menimbun “prapen” dan menghamburkan beras kuning, memenuhi semua permintaan naga.
Akhirnya, naga itu pun turun ke air, diiringi oleh Petinggi Uludusun dan Babu Jelmu, serta “timbulan balai” yang berisi “kanak bini.” Naga itu menjunjung Lembu Suwana, sementara di dalam balai terdapat gong bernama Gong Raden Gelung dan seorang anak bernama Putri Junjung Beli.
Kisah ini, yang disampaikan dengan begitu indah oleh Encek Indra, bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebuah pengingat tentang pentingnya menjaga tradisi dan melestarikan budaya. Erau Kutai 2025, dengan segala kemeriahannya, menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan kembali makna dari legenda naga ini.
(Yeni Adhayanti)