Portalsembilan.com, Kutai Kartanegara – Taman Tanjong menyaksikan pertemuan hangat dan penuh wawasan pada Minggu Malam, (21/12/2025), ketika para insan pers berkumpul untuk menggelar acara bekesah dengan tema yang sangat relevan, “Pers Berkualitas di Tengah Arus Viral Strategi Bertahan dan Adaptasi”. Acara yang diisi dengan pemaparan, diskusi, dan sesi tanya jawab ini bukan hanya ajang untuk bersantai, tetapi juga tempat berbagi pengalaman dan solusi agar pers lokal Kalimantan Timur tetap relevan, berkualitas, dan mandiri di era digital yang penuh tantangan.
Di awal acara, panggilan manis muncul dari salah satu peserta pria yang mengajak hadirin untuk berbagi konsep yang diusung oleh Selasar sebuah inisiatif yang dinyatakan telah berhasil meningkatkan investasi dan mengubah wajah jurnalistik di Kaltim.
“Assalamualaikum Wr Wb. Terima kasih Bung Bobi, semoga mertua sehat selalu,” ujarnya sebelum melanjutkan dengan nada yang lucu.
“Saya kira yang membuat ekonomi Indonesia meroket itu hanya di alam mimpi, tapi hari ini kita bicara tentang bagaimana pers bisa tetap hidup dan berkembang di tengah arus informasi yang tak berkesudahan.”
Setelah memuji Bung Bobi Nasution, Awan pun menyoroti inti konsep Selasar yang baru dan belum ada di media lain di Kaltim, menjadikan jurnalis sebagai konten kreator yang muncul di depan kamera untuk menyampaikan informasi dan kritik secara langsung.
“Ini muncul dari riset Reuters yang menunjukkan orang sekarang lebih percaya influencer atau selebgram daripada jurnalis konvensional. Akhirnya kita berpikir, ya mau tidak mau, jurnalisnya harus jadi influencer juga,” jelasnya.
Dia mengaku tidak fotogenik dan videogenik, tetapi tuntutan zaman membuatnya harus memberanikan diri.
“Behind the scene-nya, saya kalau mau bikin konten, teman-teman wartawan saya usir dulu. ‘Kalian pulang dulu, saya mau bikin konten sendirian,’ katanya. Karena saya enggak pede. Setelah itu baru saya kasih ke kawan-kawan untuk diedit,” ceritanya dengan tawa yang membuat hadirin ikut tertawa. Dari percobaan berulang 1x, 2x, 3x akhirnya hasilnya memuaskan.
“Sekarang, video-video kami minimal dapat 100 ribu tayangan per postingan. Ini sangat berbeda dengan ketika saya menulis di web.”
Dia memberikan contoh nyata ketika menulis editorial tentang pengalaman ditelpon oleh oknum Ketua Ormas yang mengintimidasi, tulisannya di web hanya dibaca 8 ribu orang. Tapi ketika dibuat video dan diposting di media sosial, tayangannya melonjak menjadi 150.000 orang dengan banyak like dan komentar.
“Dari situ kita tahu apakah pesan kita diterima masyarakat atau enggak itu tolak ukur kita,” jelasnya.
Penelitian Reuters juga menyatakan bahwa orang Indonesia lebih suka menerima informasi melalui video daripada tulisan.
“Itu salah satu alasan kenapa konten video lebih banyak dilihat. Kalau hanya mengandalkan cara tradisional seperti web atau koran, hasilnya akan terbatas bahkan yang baca koran pun sekarang kebanyakan online,” katanya sebelum mengakhiri pemaparan yang dihargai dengan tepuk tangan meriah.
“Terima kasih Bang Awan atas pemaparan yang luar biasa, banyak poin menarik yang bisa kita ambil,” ujar moderator acara.
Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan sambutan dari pihak penyelenggara yang menyampaikan penghormatan kepada tamu kehormat yang hadir, antara lain Kanda Aulia Rahman Basri (Bupati Kutai Kartanegara), Kanda Ahmad Ridwan, Bang Ibrahim, Bang Edwin Agustian, Montepater, Bang Bobby, serta unsur OPD, pemerintah, teman-teman Smsi, Amsi, dan JMSI. “Maaf saya tidak bisa menyebutkan satu persatu karena akan memakan waktu banyak,” ujar pembicara sambutan.
Dia menjelaskan bahwa acara ini adalah inisiasi dari perusahaan pers yang melihat berbagai masalah dan dinamika di lapangan, sehingga ingin menciptakan sesuatu yang menginspirasi untuk meningkatkan kualitas pikiran dan langkah-langkah dalam membangun pers ke depan.
“Kita konsepkan acara ini sesederhana mungkin karena kita beranggapan bahwa pers harus menjadi penyambung lidah rakyat, seperti yang dikatakan Bung Karno. Untuk itu, wartawan adalah ujung tombak, dan perusahaan pers adalah pelayan mereka,” jelasnya.
Konsep sederhana ini makan gorengan dan makanan sederhana bertujuan untuk membangun mindset berpihak kepada rakyat dan kolaborasi dengan pemerintah yang juga berperan sebagai pelayan.
“Kita ingin media lokal kita memiliki nilai yang lebih tinggi, tidak kalah dari media di luar sana,” ujarnya, sambil mengucapkan terima kasih kepada panitia dan Erutia TV yang membantu dengan harga diskon luar biasa.
“Terima kasih dari hati yang dalam kepada semua yang hadir,” pungkasnya sebelum mengakhiri sambutan dengan salam.
Setelah itu, sesi diskusi berlanjut dengan membahas tema kemandirian fiskal media. Salah satu pembicara menyatakan bahwa media sehat tidak bergantung hanya pada pemerintah.
“Kalau kita bergantung 100% dari APBD, kapan kita berani kritik pemerintah? Kalau mereka tidak suka, bisa putus kontrak dan kita tutup. Tapi kalau punya sumber pendapatan lain, kita lebih bebas,” jelasnya.
Dia menyebutkan contoh Selasar yang menjual brownies dan Kaltim Today yang serius mengelola sosial media karena pengiklan lebih tertarik dengan reach dan engagement di sana.
“Kaltim Today punya target 10 juta reach per bulan di TikTok dan Instagram. Ketika bertemu klien, kita tidak cuma bilang ‘kami media besar’, tapi menunjukkan data reach yang kita miliki,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa memiliki berbagai sumber pendapatan membuat media lebih tahan terhadap tekanan.
“Kalau kontrak dengan pemerintah turun, kita masih bisa bertahan dan tetap menyiarkan berita kritis. Tujuan kita bukan cuma ekspansi, tapi bertahan dan tetap memberikan layanan yang baik,” ujarnya.
Selanjutnya, diskusi beralih ke pengelolaan komentar di media sosial. Pembicara menjelaskan bahwa media bertanggung jawab terhadap komentar yang ada di akunnya, sehingga harus melakukan moderasi dengan mengatur kata kunci dan menghapus komentar yang tidak pantas.
“Kalau kita sudah melakukan moderasi sesuai pedoman Dewan Pers, kita lebih aman dari jerat hukum. Meskipun orang masih bisa melaporkan, kita sudah menjalankan tugas kita,” jelasnya.
Dia juga menyebutkan bahwa konten jurnalistik di media sosial tetap dilindungi oleh undang-undang pers, dan netizen yang membuat komentar menyakitkan bisa terkena hukuman ITE.
“Penting untuk kita punya sedikit rasa takut agar tidak terlalu berani dan menempatkan diri dalam bahaya,” tambahnya.
Terakhir, diskusi membahas tentang bagaimana menjaga idealisme saat nyawa atau finansial terancam. Pembicara menyatakan bahwa ini adalah pilihan pribadi, tetapi jika nyawa terancam, lebih baik mundur.
“Tidak ada berita seharga nyawa. Kalau idealisme kita terancam, bisa kita pertahankan, tapi kalau nyawa sudah dalam bahaya, lebih baik mundur dan mempelajari situasi terlebih dahulu,” jelasnya, sambil berbagi pengalaman ketika ditawari kerjasama dengan jumlah uang besar tapi dengan syarat berhenti membuat konten kritis. “Saya tidak ambil karena idealisme yang saya pegang, tapi ini pilihan masing-masing,” pungkasnya.
Acara bekesah ini berakhir dengan penuh wawasan dan semangat, membuktikan bahwa para insan pers di Kaltim siap beradaptasi dengan zaman untuk tetap menghasilkan pers berkualitas yang mandiri dan berpihak kepada rakyat.
(Yeni Adhayanti)

