Portalsembilan.com, Kutai Kartanegara – Suasana di ruang rapat Hotel Karya Tapin, kamis (18/12/2025) terasa tegang namun penuh tekad ketika puluhan jema’ah korban dugaan penggelapan uang umrah berkumpul untuk menggelar advokasi yang mendesak. Acara ini bukan hanya sekadar pertemuan untuk mengungkapkan kesedihan, melainkan menjadi titik balik yang menentukan nasib impian ibadah mereka dan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perjalanan umrah di Kukar. Semua itu bermula ketika direktur PT Al Husna Era Nusantara, yang juga menjabat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kutai Kartanegara dengan inisial UL, menghilang tanpa jejak bersama kurang lebih Rp8 miliar uang tabungan jema’ah dan ketiga anaknya. Kasus ini tidak hanya merusak harapan yang sudah dibina selama bertahun-tahun, tetapi juga membangkitkan pertanyaan mendalam tentang kecepatan penindakan aparat penegak hukum, keamanan investasi di sektor perjalanan, dan tanggung jawab komisaris ketika pimpinan perusahaan menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Advokasi pertama yang menjadi prioritas utama dalam pertemuan ini adalah tuntutan terhadap kecepatan penyelidikan oleh pihak polisi. Meskipun semua pihak menyadari bahwa proses hukum membutuhkan tahapan yang matang dan cermat, jema’ah dan komisaris PT Al Husna H. Abdul Basith sepakat bahwa tidak ada waktu untuk ditunda-tunda lagi. Mereka mengajukan permintaan tegas agar status UL segera dinaikkan menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO), sehingga setiap lembaga, instansi, atau individu yang menemukan keberadaan UL wajib melaporkannya ke polisi dan mencegahnya melarikan diri ke luar daerah bahkan keluar negeri.
“Kami sudah menunggu hari demi hari, tapi sampai sekarang tidak ada progres yang jelas yang disampaikan oleh pihak polisi. UL adalah PNS dia pasti punya jejak yang jelas, mulai dari kantornya di lingkungan pemerintah Kukar, tempat tinggalnya, data administrasi di Disdukcapil, hingga rekening banknya. Advokasi kita adalah untuk mendorong aparat agar tidak terlewatkan waktu emas, karena jema’ah sudah sangat gelisah dan cemas tentang nasib uang yang mereka tabung dengan susah payah,” ungkap Abdul Basith dengan nada tegas yang tetap penuh rasa hormat kepada aparat penegak hukum.
Dia menjelaskan bahwa sebagai upaya pencegahan sementara yang dia lakukan sendiri, dia telah berusaha memblokir Kartu Tanda Penduduk (KTP) UL melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kutai Kartanegara. Namun, langkah itu dinilai terlalu lemah dan tidak cukup untuk menangkap UL yang kemungkinan besar sudah menyiapkan rencana pelarian dengan matang.
“Blokir KTP hanya mencegah dia melakukan urusan administrasi sehari-hari seperti membuat KTP baru, mendaftar rumah, atau melakukan transaksi yang membutuhkan identitas resmi. Tapi dia masih bisa lari dengan cara lain misalnya dengan menggunakan dokumen palsu, bantuan orang lain, atau bahkan melarikan diri melalui jalur yang tidak terawasi. Advokasi kita adalah untuk agar polisi segera mengeluarkan DPO, sehingga jaringan pencarian bisa menjangkau lebih luas mulai dari bandara, stasiun, pelabuhan, hingga tempat akomodasi di seluruh negeri. Dengan DPO, setiap pihak yang menemukan dia tidak bisa menyembunyikannya lagi,” jelasnya. Selain itu, Abdul Basith juga meminta bantuan media massa untuk terus menyoroti kasus ini, agar masyarakat luas mengetahui dan bisa berperan aktif dalam mencari keberadaan UL.
Advokasi kedua yang tak kalah penting adalah perlindungan hak jema’ah yang telah membayar uang umrah dengan susah payah. Puluhan orang di antaranya terancam gagal berangkat ke Tanah Suci pada Januari 2026 – jadwal yang sudah mereka tunggu dengan penuh harapan setelah menabung selama bertahun-tahun, bahkan ada yang mengorbankan kebutuhan sehari-hari agar bisa melaksanakan ibadah yang disangka akan menjadi titik terpenting dalam hidup mereka. Mereka menginginkan solusi konkrit dan segera, baik dalam bentuk pengembalian sebagian atau seluruh uang maupun penyesuaian jadwal keberangkatan dengan mitra perjalanan umrah lain yang terpercaya dan memiliki lisensi resmi.
“Uang yang kita keluarkan bukan uang yang bisa didapatkan dengan mudah. Ada yang menabung dari gaji bulanan yang tidak banyak, ada yang menjual barang-barang berharga seperti emas atau sepeda motor, bahkan ada yang meminjam uang ke tetangga atau keluarga agar bisa mendaftar umrah. Advokasi kita adalah untuk memastikan bahwa hak kita sebagai konsumen dan sebagai jema’ah yang ingin melaksanakan ibadah dilindungi sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Kita tidak ingin hanya dibiarkan dengan impian yang hancur,” ujar salah satu jema’ah yang enggan menyebutkan namanya karena alasan keamanan, dengan mata yang terharu dan suara yang sedikit gemetar.
Abdul Basith mengakui bahwa dia juga termasuk korban dalam kasus ini, karena dia juga telah memasukkan uangnya ke dalam perusahaan. Namun, sebagai komisaris yang tercatat resmi di akta pendirian perusahaan, dia merasa memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk tidak meninggalkan jema’ah sendirian dalam kesulitan ini.
“Saya tahu bahwa ketika direktur hilang, jema’ah akan mencari saya itu adalah konsekuensi dari jabatan yang saya pegang. Advokasi saya adalah untuk mencari solusi bersama dengan semua pihak: entah dengan menghubungi mitra perjalanan umrah lain yang bersertifikasi oleh Badan Pengawas Perjalanan Wisata (BPW) untuk mengirim jema’ah sesuai jadwal yang telah ditetapkan, atau mencari cara untuk mengembalikan sebagian uang mereka agar bisa mencoba mendaftar umrah di waktu lain. Saya berjanji tidak akan pergi dan meninggalkan mereka dalam kesulitan ini kita akan melewati ini bersama,” tegasnya. Dia menambahkan bahwa saat ini dia sedang berusaha menghubungi BPW Kukar untuk mendapatkan bantuan, panduan, dan dukungan dalam menanggapi krisis ini, serta meminta bimbingan tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk melindungi hak jema’ah.
Advokasi ketiga yang menjadi fokus dalam pertemuan ini adalah penegakan tanggung jawab pihak terkait mulai dari UL sebagai direktur yang menghilang, lembaga pengawas sektor perjalanan umrah, hingga dirinya sendiri sebagai komisaris. Seorang pengacara yang membantu jema’ah dalam kasus ini menyatakan bahwa status UL sebagai PNS tidak boleh menjadi alasan untuk mendapatkan kekhususan apapun jika terbukti telah membawa kabur uang jema’ah.
“Status sebagai PNS bukanlah perlindungan dari hukum. Setiap orang yang melanggar hukum harus dituntut tuntutan hukum sepenuhnya, tanpa memandang jabatan atau statusnya. Advokasi kita adalah untuk memastikan bahwa jika bukti terbukti, UL akan dituntut sesuai dengan pasal pidana tentang penggelapan yang berhak mendapatkan hukuman berat. Selain itu, lembaga pengawas juga harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perusahaan perjalanan umrah memiliki sistem pengendalian internal yang baik, sehingga kasus serupa tidak terulang di masa depan. Lembaga pengawas harus lebih ketat dalam memantau dan memeriksa perusahaan-perusahaan di sektor ini,” jelas pengacara tersebut.
Selain itu, advokasi ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya waspada dan cermat sebelum memilih perusahaan perjalanan umrah. Banyak jema’ah yang mengakui bahwa mereka tertarik dengan harga yang ditawarkan PT Al Husna Era Nusantara yang dianggap lebih murah dibandingkan perusahaan lain, tanpa memeriksa terlebih dahulu lisensi, sertifikasi, dan reputasi perusahaan.
“Kita harus belajar dari pengalaman pahit ini. Advokasi kita adalah untuk mengajarkan jema’ah agar lebih cermat dan tidak tergiur dengan harga yang terlalu murah tanpa alasan. Selalu periksa apakah perusahaan memiliki izin resmi dari BPW, meminta bukti-bukti resmi seperti surat perjanjian yang jelas, struk pembayaran yang sah, dan cek reputasi perusahaan melalui sumber yang terpercaya. Hal itu adalah langkah pertama dan paling penting untuk melindungi diri sendiri dari penipuan dan kerugian finansial,” jelas panitia penyelenggara pertemuan yang juga merupakan salah satu jema’ah korban.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama lebih dari dua jam, dengan diskusi yang intens dan penuh emosi, jema’ah juga sepakat untuk mengumpulkan semua bukti pendukung dengan cermat dan teratur. Mereka akan mengumpulkan semua bukti yang dimiliki, seperti struk transfer uang, catatan obrolan (chat) dengan pihak perusahaan melalui aplikasi pesan, dokumen pendaftaran umrah, dan semua bukti lain yang bisa membangun kasus yang kuat untuk diberikan kepada polisi.
“Bukti adalah kunci dalam proses hukum. Tanpa bukti yang kuat, kita sulit membangun kasus dan mendapatkan keadilan. Advokasi kita adalah untuk memastikan bahwa semua bukti dikumpulkan dengan benar, disusun rapi, dan diberikan kepada aparat penegak hukum agar penyelidikan bisa berjalan lancar dan cepat. Kita akan bekerja sama untuk mengumpulkan semua bukti yang dibutuhkan,” ujar Abdul Basith. Dia berharap bahwa dengan semua upaya advokasi ini mulai dari dorongan penyelidikan cepat, perlindungan hak jema’ah, hingga penegakan tanggung jawab semua pihak kasus ini bisa diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, UL bisa ditemukan dan dituntut hukum, dan jema’ah bisa mendapatkan keadilan serta kesempatan untuk melakukan ibadah umrah yang sudah mereka impikan selama ini.
“Kita semua memiliki tujuan yang sama: mendapatkan keadilan dan memastikan bahwa ibadah umrah jema’ah tidak terganggu selamanya. Advokasi ini adalah untuk membangun kesatuan di antara jema’ah, komisaris, dan aparat penegak hukum agar kita bisa bekerja sama, saling mendukung, dan menemukan solusi yang adil bagi semua pihak. Selain itu, kita juga berharap bahwa kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, sehingga sektor perjalanan umrah di Kukar bahkan di seluruh negeri menjadi lebih aman, terpercaya, dan melindungi hak jema’ah yang ingin melaksanakan ibadah suci,” pungkas Abdul Basith dalam penutup pertemuan yang diakhiri dengan doa bersama untuk keberhasilan upaya advokasi, keselamatan UL, dan keadilan bagi semua jema’ah korban.
(Yeni Adhayanti)

